Kantor PRIMKOPTI Jakarta Selatan

Kantor Primkopti Jakarta Selatan yang terletak di Jalan Kalibata Tengah No.8-9 Jakarta Selatan. Primkopti Jaksel merupakan badan hukum resmi bernomor 1305/BH/I Tgl 06-9-1979

Mengembangkan kemandirian usaha koperasi

Primkopti Jakarta Selatan mengembangkan usaha dengan melakukan terobosan-terobosan dinamis tanpa kehilangan wataknya sebagai koperasi, dimana pelayanan kepada anggota menjadi prioritasnya.

Siap memberikan hak suara

Seorang anggota PRIMKOPTI Jakarta Selatan memberikan hak suaranya dalam proses reformasi kepengurusan yang berlangsung secara maraton di beberapa titik di wilayah jaksel, dan berakhir di ruang pertemuan gedung SMK 57.

Rapat Paripurna PRIMKOPTI Jaksel

Dihadiri oleh perwakilan anggota Kopti se Jakarta Selatan, sidang paripurna berlangsung dengan cukup lancar dan menghasilkan rekomendasi dan susunan kepengurusan baru untuk masa jabatan mendatang.

Kepala unit pelayanan PRIMKOPTI Jaksel

Unit-unit pelayanan PRIMKOPTI Jakarta Selatan bekerja untuk mengembangkan kapasitas kelembagaan demi menyambut berbagai tantangan kedepan serta meningkatkan pelayanan terhadap anggota

Kamis, 05 Mei 2011

Harga CPO tergerus seiring melorotnya harga kedelai dunia

KUALA LUMPUR. Kontrak harga crude palm oil (CPO) melorot ke level terendah dalam dua minggu terakhir. Anjloknya harga CPO terjadi setelah ada kecemasan akan penurunan permintaan kedelai dari AS.

Pagi tadi, kontrak harga CPO di Malaysia Derivatives Exchange turun sebesar 1,3% menjadi 3.228 ringgit atau US$ 1.083 per metrik ton. Ini merupakan penurunan terbesar sejak 19 April lalu. Pada penutupan sesi siang, kontrak yang sama berakhir di posisi 3.253 ringgit per ton.

"Penurunan harga CPO terkait dengan melorotnya harga kedelai," jelas Ivy Ng, analis CIMB Investment Bank Bhd di Kuala Lumpur.

Sementara itu, Don Roose, president of US Commodities Inc di Iowa menambahkan, bertambahnya suplai di Amerika Utara juga akan menurunkan permintaan kedelai AS.

Sekadar tambahan, kontrak harga kedelai untuk pengantaran Juli melorot 2,1% menjadi US$ 13,6375 per bushel kemarin. Pada pukul 12.46 waktu Singapura, kontrak yang sama ditransaksikan pada posisi US$ 13,60 per bushel.

Minggu, 01 Mei 2011

Memperbaiki Proses Produksi Tahu Tempe Melalui Pola Pelayanan Satu Atap dan Branding

Proses produksi tahu tempe  yang selama ini dapat ditemui pada kebanyakan perajin di Indonesia dianggap masih jauh dari kesan dan harapan atas sebuah proses produk makanan yang bersih dan higienis. Hal ini cukup disayangkan mengingat tahu dan tempe merupakan jenis makanan yang tergolong menyehatkan dan sangat bermanfaat bagi tubuh manusia, selain juga terbilang sangat digemari oleh sebagian besar masyarakat di berbagai lapisan, baik yang tinggal di kawasan pedesaan maupun perkotaan di Indonesia.

Menurut data KOPTI tahun 2010, jumlah pengrajin tahu dan tempe di Indonesia tidak kurang dari 83,545. Jumlah tersebut masih menyisakan renter maupun pekerja pendukungnya secara keseluruhan. Maka tentu tak dapat diragukan bila sektor tahu tempe memiliki andil penting baik dalam hal penyerapan tenaga kerja maupun perputaran ekonomi masyarakatnya.

Tahu tempe merupakan sektor kerja yang sangat potensial untuk dikelola dan dikembangkan penataan atas praktek produksinya. Selain dapat meningkatkan nilai tawar produksi, hal yang juga tak kalah penting adalah terlindunginya hak konsumsi masyarakat atas produk makanan tahu tempe yang benar-benar sehat, baik dilihat dari sudut pandang proses pembuatannya maupun asupan-asupan yang dikandungnya.

Dilatarbelakangi oleh hal tersebut maka project T&T kemudian mengupayakan pemakaian peralatan produksi berbahan stainless steel sebagai ganti dari peralatan tradisional pada umumnya yang terbuat dari drum bekas oli, atau peralatan produksi lainnya yang tidak sesuai dengan standar untuk pangan,  serta berdampak buruk terhadap kondisi kerja dan lingkungan . Hal ini dimaksudkan untuk menjaga proses produksi agar menjadi lebih bersih, effisien dan ramah lingkungan

Namun demikian, hal yang cukup menyulitkan bagi para pengrajin adalah pada lemahnya akses modal untuk pembelian peralatan tersebut, mengingat sebagian besar usaha masih berbentuk industri rumahan. Maka untuk menyiasati permasalahan ini maka Team T&T Mercycorps bekerjasama dengan Primkopti Jakarta Selatan, equipment supplier dan sebuah perusahaan leasing Prima Finance mengupayaan pengadaan barang melalui leasing, yang menjadi bagian dari layanan Pola Pelayanan Satu Atap (One Stop Service).

Pola Pelayanan Satu Atap
Secara umum pola pelayanan satu atap (one stop service) merupakan sebuah model pelayanan yang cukup taktis. Pola ini mempertemukan beberapa instansi atau lembaga untuk bekerjasama satu sama lain, berdasarkan spesifikasi dan fungsi kerjanya masing-masing, untuk mencapai sebuah muara yang sama, satu bentuk sasaran yang sama, di samping itu juga jenis aneka layanan yang diberikan bisa diperoleh pada satu tempat atau lembaga.

Jika penggunaan peralatan produksi dari stainless steel disadari sebagi salah satu cara untuk meningkatkan kualitas produk tahu atau tempe, sementara banyak produsen terkendala persoalan akses dana untuk membeli peralatan produksi dimaksud, maka aplikasi one stop service menjadi pilihan yang sangat relevan. Dengan pola “satu atap”, maka koordinasi dan kerjasama diharapkan terjadi antara pihak koperasi (Primkopti), equipment supplier serta perusahaan leasing. Koperasi dapat segera melakukan pendataan pada anggotanya yang akan membeli peralatan dengan cara cicilan dan melakukan pembelian, sementara suplier mempersiapkan  stock pemesanan atas peralatan yang diperlukan, sementara perusahaan leasing akan bertugas untuk “mengeksekusi” role yang sudah disepakati, misalnya barang yang sudah diterima produsen akan ditarik kembali bila kelak terjadi persoalan di tingkat penarikan cicilan.

Pelayanan satu atap pada prinsipnya adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas melalui peminimalan “jarak” antara lembaga-lembaga terkait. Dengan demikian maka waktu dapat diperpendek dan model pelayanannya menjadi lebih mudah dengan tingkat resiko yang relatif rendah.

Branding
Debut pengupayaan produksi tahu dan tempe higienis oleh team T&T Mercycorps sepenuhnya ditujukan untuk perbaikan rantai nilai tahu tempe yang pada gilirannya juga akan memberi input dan manfaat besar bagi baik usaha maupun konsumsi tahu tempe di Indonesia pada umumnya dan Jabodetabek pada khususnya. Produk tahu tempe higienis diarahkan bukan saja karena sejalan dengan pertumbuhan kesadaran masyarakat akan makanan sehat, namun juga dilatarbelakangi pentingnya mendorong proses produksi yang peka dan ramah terhadap lingkungan. Sehingga dengan demikian, produksi akan menjadi tidak semata-mata berorientasi pada omset dengan menegasikan keamanan konsumsi dan keseimbangan lingkungan. Maka dalam kaitan tersebut, pengadaan branding sebagai langkah sosialisasi produk higienis dan kontrol terhadap kualitas menjadi kebutuhan lanjutan yang juga tak kalah pentingnya.

Branding yang notabene merupakan bagian dari strategi pemasaran memilki andil yang cukup penting, bukan saja untuk memperkenalkan sebuah produk tertentu, namun juga memberi manfaat dalam hal standard kualitas, yang itu berarti memberi dorongan tersendiri bagi produsen untuk peduli dan bertanggung jawab mempertahankan atau bahkan meningkatkan nilai produksinya.

Kebutuhan akan makanan sehat yang sedang berkembang di tengah masyarakat modern saat ini mau tidak mau harus direspon secara positif melalui perbaikan produk secara sungguh-sungguh dan untuk selanjutnya mampu dipertanggungjawabkan melalui jalan pelabelan atau branding. Demikian pula yang diupayakan terjadi pada produksi tahu dan tempe. Potensi ekonomi yang dimilikinya beserta pasar besar yang menantinya harus mampu dijawab melalui pengupayaan produksi yang benar-benar sehat disertai branding sebagai bagian tak terpisahkan dari komitmen dan tanggung jawab produsen terhadap kualitas produksinya.

Sampai saat ini, dari sekian produsen tahu tempe dampingan team T&T Mercycorps yang telah mengaplikasikan penggunaan peralatan produksi stainless steel, sedikitnya terdapat 3 produsen yang telah melakukan branding. Pada tahap pertama, Team mensupport untuk pembiayaan cetak dan desain label untuk memudahkan serta memberi gambaran terhadap pelabelan dan manfaatnya kelak di kemudian hari. Dengan langkah ini Mercycorps berharap akan tumbuh kesadaran pada ranah produksi, bahwa perbaikan produk tahu tempe merupakan keniscayaan dan tanggung jawab produsen sebagai bagian dari tanggung jawab sosial kemasyarakatan, di samping tentunya manfaat ekonomi. Bahwa produk sehat yang dibutuhkan masyarakat bukan semata-mata menjadi tanggung jawab konsumen yang harus pandai-pandai memilih, namun juga merupakan kewajiban produsen untuk ikut serta menjaga produksinya agar tak memberi ekses negatif kepada konsumen, ditambah pula bahwa proses produksi tersebut dapat berlangsung efisien, sehat dan ramah terhadap lingkungan. Dan walhasil, hal-hal tersebut dapat dan mampu dijelaskan melalui jalan branding, sehingga terwujud produksi tahu dan tempe higienis dan ramah lingkungan yang dapat diapresiasi dengan baik oleh masyarakat dan menumbuhkan suatu pola baru dalam sektor produksi tahu tempe di masa-masa yang akan datang.[L]

Selasa, 12 April 2011

Saatnya Perajin Tahu dan Tempe Manfaatkan Teknologi agar Tetap Berkibar

(KOMPAS/Cetak/Rabu 13-4-'11) Jika ingat tempe tahu, terbayang informasi miring tentang cara pembuatannya yang harus diinjak-injak dulu dengan kaki telanjang.

”Mana mungkin bersih ya tempe tahunya,” kata Wini (24), karyawan swasta, Selasa (12/4).

Padahal, sejak beberapa tahun silam pembuatan tahu tempe sudah mengadopsi teknologi, seperti penggilingan kedelai dengan alat giling.

”Namun, peralatan yang digunakan perajin belum benar-benar sesuai dengan standar peralatan produksi makanan. Oleh karena itu, diperkenalkanlah serangkaian peralatan sederhana tetapi tepat guna kepada para perajin, yaitu penggunaan peralatan berbahan baku stainless steel dan berbahan bakar gas,” kata Irfansyah, Ketua Program Tahu dan Tempe Mercy Corps, kemarin.

Teknologi tepat guna yang ditawarkan Mercy Corps, antara lain, drum stainless steel untuk merebus kedelai dalam pembuatan tempe. Drum ini menggantikan drum bekas yang biasanya untuk mewadahi oli. Ada juga tahang dari stainless steel yang menggantikan tahang dari kayu jati yang diperlukan dalam pembuatan tahu. Ada juga ketel uap, alat giling, dan beberapa peralatan lain. Bahan bakar yang digunakan adalah gas yang menggantikan kayu bakar.

”Drum bekas oli jelas tidak memenuhi standar kesehatan. Kalau tahang dari kayu, permukaannya tidak mulus sehingga sisa-sisa kedelai masih menempel dan mempercepat pembusukan. Produk tahu jadi tidak tahan lama. Jika pakai tahang stainless steel, tahu bisa tahan sampai 2-3 hari,” kata Irfan.

Irfan mengakui akan ada pembengkakan biaya. Rata-rata dalam satu hari seorang perajin yang mengolah sekitar 50 kilogram kedelai membutuhkan 1 kuintal kayu bakar seharga Rp 12.000. Jika memakai gas, diperlukan satu seperempat tabung gas ukuran 3 kilogram seharga sekitar Rp 18.000.

Namun, konsistensi penggunaan peralatan ramah lingkungan membuat pabrik akan lebih efisien, bersih, asap berkurang, dan produksi tahu tempe bakal terdongkrak. Otomatis, kata Irfan, yang diamini Sutaryo, Ketua Bidang Usaha Primer Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Indonesia (Primkopti) Jakarta Selatan, laba pun bakal bertambah.

Di Indonesia, tahu tempe telah mempunyai nilai rantai ekonomi yang menjadi kunci bagi perekonomian lokal. Produksi tempe tahu menjadi sumber pendapatan bagi 85.000 usaha yang melibatkan 285.000 pekerja dan menghasilkan pendapatan Rp 700 miliar per tahun.

Berbekal perhitungan tersebut, Selasa pagi kemarin, perajin tahu tempe yang menjadi anggota Primkopti Jakarta Selatan diundang pada peluncuran peralatan pembuatan tahu tempe berteknologi tepat guna dan ramah lingkungan di Jalan Kalibata Tengah, Jakarta Selatan. Sembari diperkenalkan dengan peralatan baru, perajin mengikuti seminar bertajuk ”Menjawab Tantangan Perbaikan Produksi Tahu Tempe Melalui Peran Serta Primkopti dan Aplikasi Pola Pelayanan Satu Atap”. Acara ini hasil kerja sama antara Primkopti Jakarta Selatan dan Mercy Corps.

Direktur Mercy Corps Indonesia Sean Granville Ross mengatakan, kegiatan ini tidak hanya ditujukan bagi perajin untuk meningkatkan produksi.

”Ini juga menjadi titik awal untuk memberikan kenyamanan dan keamanan bagi konsumen terhadap makanan sehat dan higienis,” katanya. (NELI TRIANA)

Kamis, 07 April 2011

Dipasarkan, Tahu-Tempe Ramah Lingkungan

KOMPAS.com — Tahu dan tempe berlabel higienis dan ramah lingkungan segera beredar di pasaran Jakarta dan sekitarnya. Adalah Primkopti, dibantu Mercy Corps Indonesia, yang akan memperkenalkan tahu dan tempe tersebut pada 12 April mendatang.

Bersamaan dengan itu, dilaksanakan juga kegiatan diskusi terbuka bertema "Peran Serta Primkopti dan Aplikasi Pola Pelayanan Satu Atap sebagai Strategi Menjawab Tantangan Perbaikan Produksi Tahu Tempe". Saat ini diperkirakan industri rumahan tahu dan tempe menghasilkan pendapatan Rp 700 miliar per tahun atau 78 juta dollar AS per tahun.

Fitria Rinawati, koordinator komunikasi Mercy Corps Indonesia, menjelaskan, produk tahu dan tempe bermerek saat ini sudah ada di pasaran. Namun, belum bisa dipastikan apakah tahu dan tempe itu sudah diproses secara higienis dan ramah lingkungan.

"Kami berencana akan memperkenalkan kepada masyarakat tahu dan tempe yang diproduksinya higienis dan ramah lingkungan pada 12 April mendatang di kantor Primkopti di Jakarta Selatan," kata Fitria yang dihubungi per telepon, Kamis (7/4/2011) petang.

Ia menjelaskan, yang dimaksud higienis adalah tahu dan tempe tersebut pembuatanya melalui proses yang higienis, sesuai dengan kaidah kesehatan dan keamanan untuk konsumen, mulai dari pemilihan bahan baku, kacang kedelai, sampai proses pembukusan tahu dan tempenya. Sebagai contoh, dipastikan perajin tempe dan tahu yang produknya diberi merek dan direkomendasi Primkopti tersebut sudah tidak menggunakan lagi drum-drum bekas oli untuk merebus kedelainya. Selain tidak higienis, penggunaan drum bekas oli itu juga cepat rusak karena mudah berkarat.

Sedangkan yang dimaksud ramah lingkungan, lanjutnya, antara lain perajinnya tidak lagi menggunakan kayu sebagai bahan bakar dalam merebus kacang kedelainya, melainkan menggunakan gas. "Berdasarkan hitung-hitungannya, terbukti juga menggunakan gas, biaya produksinya menjadi lebih murah dibanding kalau perajin itu mengunakan kayu atau batang pohon," kata Fitria.

Ramah lingkungan lainnya, limbah bekas proses pembuatan tahu tidak lagi dibuang ke saluran air atau ditumpuk begitu sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan atau udara. Limbah bekas proses pembuatan tahu itu diubah menjadi biogas, yang digunakan kembali untuk proses perebusan atau pemasakan kedelai.

"Mungkin karena kapasitas produksinya masih kecil, limbahnya tidak cukup menghasilkan biogas yang dapat digunakan kegiatan usahanya. Tetapi paling tidak, biogas itu dapat digunakan untuk keperluan memasak sehari-hari keluarga perajin tersebut," jelas Fitria.

Adapun Mercy Corps Indonesia melakukan intervensi pada masalah tahu dan tempe karena melihat hampir seluruh perajin tahu dan tempe, khususnya di Jakarta, belum higienis dalam memproduksi pangan yang dikonsumsi secara luas di Indonesia. Tahu dan tempe pun mengandung tinggi nutrisi dan protein, harga murah, dan enak rasanya.

"Pada saat yang sama, tahu dan tempe telah menjadi rantai ekonomis yang menjadi kunci bagi perekonomian lokal, sebagai sumber pengahasilan dari 85.000 perajin dengan 285.000 pekerja (di mana 40-50 persennya adalah perempuan) dan menghasilkan pendapatan sekitar Rp 700 miliar per tahun atau 78 juta dollar AS per tahun," tutur Fitria.

Mercy Corps adalah organisasi yang memfokuskan membantu di tempat-tempat sulit di dunia dengan meringankan penderitaan, kemiskinan, dan tekanan dengan mengubah krisis menjadi kesempatan membangun masyarakat yang aman, produktif, dan adil. Kantor pusatnya ada di Portland, Amerika Serikat, dan Edinburgh, Inggris, dengan kantor perwakilan ada di 40 negara, termasuk di Indonesia, tepatnya di Pancoran, Jakarta Selatan.
Source:

Sabtu, 26 Maret 2011

Tempe Pembawa Rejeki

Dengan mengayuh sepeda, yang dibelakangnya terdapat keranjang, seorang pria berkeliling kampung dan pasar di wilayah Cireunde, Rempoa, Jakarta Selatan. Sesaat ia berhenti di salah satu rumah di sebuah gang. Ia kemudian memberikan beberapa papan kecil tempe, yang dipesan pemilik rumah tersebut. Beberapa orang pembeli kemudian tampak mendatanginya, untuk membeli tempe. Setelah selesai, ia kembali mengayuh sepedanya, dan berkeliling menawarkan dagangannya.

Demikianlah rutinitas sehari-hari Sobirin (47), pria asal Pekalongan, Jawa Tengah, yang berprofesi sebagai penjual tempe tradisional.

Sejak tahun 1990, Sobirin sudah menekuni pekerjaan ini. Dengan modal Rp 900 ribu, yang dipinjamnya dari sebuah Koperasi Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) yang beralamat di Kalibata, Jakarta Selatan, ia membuka usaha pembuatan tempe. Uang tersebut digunakannya untuk membeli bahan dan peralatan membuat tempe.

Di pemukiman yang padat penduduk di Jalan Cireunde Ilir, Rempoa, Jakarta Selatan, Sobirin menyewa sebuah rumah berukuran kecil, yang sekaligus dijadikan tempat memproduksi tempe. Peralatan yang digunakan Sobirin untuk pembuatan tempe, sangat sederhana. Antara lain drum, plastik, daun dan mesin giling tradisional, yang membutuhkan tenaga yang kuat untuk memutar mesin gilingan itu.

Sobirin tidak sendiri dalam membuat tempe di rumahnya, Ia dibantu Tono, keponakannya dan anak laki-lakinya yang masih sekolah di SMA. Menurut Sobirin, sebelum dipasarkan, tempe yang berbahan utama kedelai dan ragi, harus melalui proses penguapan dan penjamuran selama empat hari empat malam.

Untuk mendapatkan tempe yang bagus dan tahan, Sobirin juga harus mengetahui cuaca atau udara diluar. Hal tersebut dilakukan agar tempe tidak mudah busuk. Selain itu, pembuatan tempe secara tradisional harus dilihat dari proses pencucian kedelai. Bila tidak bersih, tempe akan mudah busuk dan tidak tahan lama.

Setiap hari, Sobirin mampu memproduksi tempe sebanyak 250 bungkus, yang terjual habis dengan cara menyetor ke pelanggan dan sisanya dijual dengan cara diecerkan keliling kampung.

Dengan penghasilan bersih 40 ribu rupiah per hari, Sobirin juga menerima pesanan dari warteg disekitar rumahnya. Dari hasil penjualan tempe selama di Jakarta, ia mampu menghidupi dua istri dan 8 anak yang ada di kampung halamannya. Bahkan ia mampu menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi swasta di kampungnya.

Namun demikian, Sobirin pun pernah mengalami kegagalan dalam proses pembuatan tempe. Tapi hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia terus belajar dari kesalahan dan akhirnya berhasil memproduksi tempe dengan hasil yang bagus dan mempunyai banyak pelanggan.

Menurut Sobirin, penyebab kegagalan pada pembuatan tempe, terutama jika salah dalam takaran pada obat tempe atau ragi. Tidak mudah memang membuat tempe.

Namun tempe, juga tahu merupakan makanan yang banyak digemari. Baik masyarakat bawah maupun kalangan atas. Bahkan menurut Sobirin, tempe juga dapat mengobati badan panas dingin atau sakit dengan cara : tempe mentah dimakan dengan dicampur gula merah, lalu dibakar atau dimakan begitu saja.(Suprihatin/Idh)

Sempat Hilang Di Pasaran, Harga Tahu Akhirnya Naik

Jakarta Produk tahu sempat menghilang dari pasaran khususnya di Jabodetabek karena produsen berdemo meminta kenaikan harga. Namun produsen pun akhirnya berdamai dan memilih untuk menaikkan harga tahu, sementara tempe disiasati dengan ukuran yang lebih kecil.

Ketua II Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Sutaryo mengatakan para pengrajin tahu tempe akhirnya menaikan harga karena sudah tak mampu menahan biaya produksi karena kenaikan harga kedelai.
Harga kedelai ditingkat pengrajin, menurut Sutaryo sudah naik dari Rp 4.800-5.000, menjadi Rp 6.500-6.800 per Kg. Sehingga ia memastikan harga tahu khususnya sudah naik di awal pekan ini.

Memang kami libur tak berproduksi pada Kamis-Jumat lalu, karena konsumen susah menerima rencana kenaikan. Jadi kami semacam berunjuk rasa lah, katanya kepada portalnewsFinance, Senin (7/2/2011).

Ia mengatakan penolakan kenaikan harga sebenarnya lebih banyak dilakukan oleh pedagang sementara konsumen relatif menerima.

Konsumen menerima, efek konsumen nggak terlalu, tapi produsen ke pedagang tarik menarik, kata Sutaryo yang juga Ketua Bidang Usaha Kopti Jakarta Selatan ini.
Saat ini harga tahu besar (tahu china) naik Rp 200 dari Rp 1.400 menjadi Rp 1.600 per potong. Harga tahu Bandung naik dari Rp 300 menjadi Rp 350 per potong, sementara tahun papan naik Rp 2000 dari Rp 18.000 menjadi Rp 20.000 untuk wilayah Jabodetabek.
Memang kenaikannya kecil, tapi kalau dalam jumlah besar bagi produsen itu sangat berarti, ujarnya.

Ia menjelaskan pasca demo pekan lalu, pasokan tahu khususnya di Jabodetabek sudah normal sejak Sabtu lalu. Menurutnya, produsen atau pengrajin tak akan mengulangi hal tersebut asalkan ada kesadaran dari para pedagang maupun konsumen.

Khusus untuk produk tempe, saat ini tak mengalami kenaikkan karena pengrajin mensiasatinya dengan mengurangi ukuran. Sementara harga tahu terpaksa dinaikan karena para perajin sudah tak mungkin melakukan pengurangan ukuran cetakan karena jika dilakukan harus membuat cetakan baru. Kalau tempe bisa disiasati oleh perajin, juga pendistribusiannya bisa dilakukan langsung, ucapnya.

Sampai saat ini kebutuhan tahu tempe khususnya di DKI Jakarta rata-rata per bulan mencapai 15.000 ton. Sementara kebutuhan kedelai di Jakarta saat ini rata-rata 10.000 ton per bulan. Total kebutuhan kedelai secara nasional mencapai 2,4 juta ton per tahun, di mana sebanyak 80% dipakai untuk tempe dan tahu.

Dari total kebutuhan 2,4 juta ton, sebanyak 600.000 ton dipasok dari dalam negeri sementara kedelai impor mencapai 1,8 juta ton.(hen/qom)

Pengusaha Tempe Khawatirkan Lonjakan Harga Kedelai

MedanBisnis – Jakarta . Para pengusaha tahu dan tempe yang tergabung dalam Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) was-was terhadap lonjakan harga kedelai dunia. Sejak tiga bulan lalu harga kedelai di Tanah Air sudah menunjukan tren kenaikan drastis.
Ketua II Gakoptindo Sutaryo mengatakan tiga bulan lalu harga kedelai masih jauh di bawah Rp 5.000 per kg, namun saat ini harga kedelai di tingkat perajin tempe sudah menembus angka Rp 6.000 per kg.

“Yang dikhawatirkan, lonjakan yang tak bisa diprediksi karena kita masih ketergantungan dengan kedelai impor,” kata Sutaryo yang juga Ketua Bidang Usaha Kopti Jakarta Selatan, saat dihubungi, Rabu (27/10).

Ia mengatakan para perajin tempe trauma dengan kenaikan harga kedelai dua tahun lalu. Pasalnya pada tahun 2008 harga kedelai di Jakarta sempat tembus Rp7.500 per kg, sementara di luar Jawa hingga Rp 9.000-Rp 10.000 per kg. “Kalau masih di bawah Rp 6.000 belum, tapi kita nggak punya daya apa-apa karena ketergantungan impor,” katanya.

Ia mengatakan meski terjadi kenaikan, para perajin belum berencana menaikan harga jual kecuali harga kedelai sudah jauh di atas Rp 6.000 per kg. Selain itu perajin pun sebelum menaikan harga lebih mempertimbangkan mengurangi ukuran tempe-tahu atau menurunkan produksi. “Suasana ekstrem bukan hanya terjadi di Indonesia. Saya khawatir sumber produksi kedelai terganggu di AS,” katanya.

Ia mengatakan kebutuhan kedelai di Jakarta saat ini rata-rata 10.000 ton per bulan. Sementara total kebutuhan kedelai secara nasional mencapai 2,4 juta ton per tahun, di mana sebanyak 80% dipakai untuk tempe dan tahu. Dari total kebutuhan 2,4 juta ton, sebanyak 600.000 ton dipasok dari dalam negeri sementara kedelai impor mencapai 1,8 juta ton.  (dtf)

Sumber: http://www.medanbisnisdaily.com

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More